Jakarta - Ketika Napalm Death memulai memainkan musik yang
dinamakan grindcore di pertengahan ‘80-an, tujuannya padat, singkat dan
jelas. Ingin memainkan musik tercepat di dunia. Dengan ketukan drum yang
terdengar menggerinda, gitar kasar ala hardcore punk, dan vokal
menggeram marah, grindcore merupakan ekspresi anak muda yang segar di
zamannya. Lima belas tahun kemudian, tepatnya tahun 2001 muncul sebuah
band grindcore di Jakarta bernama Dead Vertical, merilis tiga album dan
saat ini menjadi salah satu yang terbaik di bidangnya. “Dulu awalnya
musik kami cukup kental terpengaruh hardcore punk. Tepi kemudian kami
ingin berkembang, jadilah sekarang ada unsur lain seperti death metal
juga. Ya kalau diperhatikan kan genre ini memang penggabungan berbagai
genre,” ujar Adi “Boy” Wibowo, vokalis dan juga gitaris dari Dead
Vertical. Hal ini diamini oleh vokalis/bassist Bonny Suhendra dan drummer Arya Gilang Laksana.
Bayangkan
kehingar-bingaran grindcore dengan irama yang dijamin akan membuat
leher pegal karena headbang maupun badan memar karena slam dancing.
Semua kekacauan ini datang dari hanya tiga orang. Layaknya aksi trio
cadas lokal macam Rajasinga, atau internasional semacam Nasum (Swedia),
Toxic Holocaust (Thrash, USA), bahkan Venom, Dead Vertical berhasil
membawa ranah musik cadas lokal ke area baru. Perkembangan musik mereka
cukup signifikan, memulai dengan unsur hardcore punk/crust di album
pertama, Infecting The World album kedua mereka mulai memamerkan sound ala Death Metal, dan kini Perang Neraka Bumi, album terbaru mereka, menghasilkan konsep yang lebih matang lagi.
“Di
album ini sekarang lagu kami lebih panjang. Tidak lagi maksimal satu
menit tipikal grindcore seperti album dulu. Album ini juga semua lirik
berbahasa Indonesia, dan memiliki konsep menceritakan tentang perang
dunia kedua. Terinspirasi dari sebuah film dokumenter tentang perang
rilisan BBC,” tegas Boy. Mengapa perang dunia kedua? Boy menjawab, “Ini
karena perang dunia kedua mempengaruhi seluruh kehidupan yang kita
jalani sekarang. Perkembangan teknologi dan akhirnya ke kebudayaan
manusia, itu semua dipengaruhi oleh kejadian perang dunia. Ini yang
bikin peristiwa ini seru untuk diolah jadi lirik.”
Kini Dead
Vertical merupakan salah satu aksi grindcore yang paling dicari di
Indonesia. Salah satu acara yang meroketkan nama mereka di scene cadas adalah ketika mereka didaulat menjadi opening act
konser kedua Napalm Death di Jakarta tahun 2008. Satu alasan lagi
adalah Rottrevore Records. Label death metal paling populer di Indonesia
merilis dua album terakhir mereka. Mengenai masalah label, album Perang Neraka Bumi
sempat mengalami masalah ketika hendak dirilis. Dwinanda Satrio,
pemilik label Rottrevore Records dan juga salah satu eksponen terpenting
scene death metal Indonesia meninggal dunia. Yang ditinggalkan
adalah album Dead Vertical yang masih berada di pabrik penggandaan CD.
“Selain berduka cita, kami juga kepikiran waktu itu. Ini album bagaimana
nasibnya jadinya?” Akhirnya mereka melanjutkan sendiri segala tetek
bengek produksi dan juga promosi bagi album mereka sendiri.
Dan
sepertinya mengerjakan segalanya sendirian bukan hal baru bagi Dead
Vertical, mereka tampak semangat menjalankan passion mereka dan sembari
berprestasi dalam hal musikalitas. Bekerja, bersenang-senang, dan
menggelegarkan musik cadas, ini adalah agenda Dead Vertical. Dan untuk
urusan bersenang-senang mereka juga cukup serius menjalankan, sampai ada
intro sebuah lagu di album Perang Neraka Bumi, yakni “Inti
Petaka” dengan ada efek suara yang mencerminkan kondisi para personel
Dead Vertical ketika sedang mabuk. Untuk urusan satu ini, Arya cukup
disegani, terlebih dengan kecintaannya pada mariyuana. Bagaimana caranya
‘tinggi’ dengan mariyuana dan masih mampu merentetkan ketukan super
cepat dengan tenaga maksimal? “Kalau lagi nyimeng, jangan dibawa ngantuk
atau lemas, dibawa segar saja, bisa-bisa saja,” tegas Arya semangat.
by Rollingstone Ind